Sabtu, 07 April 2012

STRUKTUR PEMBANGUN KARYA SASTRA

Oleh :
MUHYSANUR SYAHRIR
(Sang Pemimpi Putra Oghy' Wajo)


A. Pengertian Struktur
Saat menghadapi karya sastra seorang penikmat atau pembaca akan berhadapan dengan sebuah struktur kehidupan yang imajinatif yang bermediumkan bahasa, struktur sastra itu sendiri. Yang dimaksud dengan struktur sastra di sini adalah susunan, penegasan dan gambaran semua materi serta bagian-bagian (elemen) yang menjadi komponen karya sastra dan merupakan kesatuan yang indah dan tepat (Abrams dalam Jabrohim (ed), 2001:167). Struktur karya sastra itu merupakan suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan ( Juwondo, dalam Jabrohim (ed), 2001:54).

B. Struktur Karya Sastra
Dikemukakan Fananie (2001), bahwa struktur karya sastra mencakup: struktur intrinsik, struktur ekstrinsik, struktur lapis bunyi, dan struktur lapis makna. Yang dimaksud dengan berbagai struktur itu adalah sebagai berikut ini :

1. Struktur Intrinsik
Intrinsik berarti unsur dalam. Dalam karya sastra berarti unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu (Tusthi,1991:69). Mursal Esten ( 1978:20) mengatakan hal-hal yang berhubungan dengan struktur, seperti alur (plot), latar, pusat pengisahan dan penokohan, kemudian juga hal-hal yang berhubungan dengan pengungkapan tema dan amanat. Juga termasuk di dalamnya hal-hal yang berhubungan dengan imajinasi dan emosi. Sedangkan unsur intrinsik sebuah puisi ialah: diksi, rima, ritme, dan tipografi (Thusthi,1991:100).

2. Struktur Ekstrinsik
Dikatakan Fananie (2001:77) Faktor ekstrinsik adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Ia merupakan milik subjektif pengarang yang bisa berupa kondisi sosial, motivasi, tendensi yang mendorong dan memengaruhi kepengarangan seseorang. Faktor-faktor ekstrinsik itu dapat meliputi: 1) tradisi dan nilai-nilai, 2) struktur kehidupan sosial, 3) keyakinan dan pandangan hidup, 4) suasana politik, 5) lingkungan hidup, 6) agama, dan sebagainya. Nyoman Thusthi Eddy ( 1991: 69) menyatakan faktor-faktor seperti: 1) sejarah, 2) sosiologi, 3) psikologi, 4) politik, ekonomi, dan ideologi. Sejalan dengan dua pendapat di atas, Wellek & Warren ( dalam Waluyo, 1994:64) menyatakan: 1) biografi pengarang, 2) psikologi (proses kreatif), 3) sosiologis (kemasyarakatan) sosial budaya masyarakat, dan 4) filosofis (aliran filsafat pengarang) termasuk pada struktur ekstrinsik karya sastra. Termasuk ke dalam faktor sosiologis, i) aspek-aspek seperti profesi/ institusi, problem hubungan sosial, adat-istiadat, dan antarhubungan masyarakat, ii) hubungan historis, iii) hubungan sastra dengan faktor sosial, yakni menganggap sastra sebagai dokumen sosial.

3. Struktur Lapis Makna
Sebuah karya sastra yang baik dan lengkap setidaknya memiliki lima tingkatan lapis makna atau neveau. Nilai-nilai tersebut dimulai dari tataran yang paling rendah sampai pada tataran yang paling tinggi. Secara urut neveau tersebut adalah:
a. Neveau anorganik
b. Neveau vegetatif
c. Neveau animal
d. Neveau humanis
e. Neveau metafisika/transkendental

4. Struktur Lapis Bunyi
Struktur ini lebih ditemukan pada karya puisi atau prosa liris yang kaya asonansi aliterasi, dan persajakan. Pentingnya struktur bunyi karena pada nuansa bunyi-bunyi tertentu akan dapat dihubungkan dengan suasana tertentu. Hal tersebut, misalnya, dapat dirasakan pada puisi-puisi mantra, yaitu puisi yang menempatkan struktur bunyi sebagai kekuatan makna, sehingga bunyi merupakan hal yang dominan.

Sastra Imajinatif dan Non-Imajinatif

Oleh Echa Gestra II "08"


A. Sastra Imajinatif

Sastra imajinatif adalah sastra yang berupaya untuk menerangkan, menjelaskan, memahami, membuka pandangan baru, dan memberikan makna realitas kehidupan agar manusia lebih mengerti dan bersikap yang semestinya terhadap realitas kehidupan. Dengan kata lain, sastra imajinatif berupaya menyempurnakan realitas kehidupan walaupun sebenarnya fakta atau realitas kehidupan sehari-hari tidak begitu penting dalam sastra imajinatif.
Jenis-jenis tersebut antara lain puisi, fiksi atau prosa naratif, dan drama. Puisi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni puisi epik, puisi lirik, dan puisi dramatik. Fiksi atau prosa naratif terbagi atas tiga genre, yakni novel atau roman, cerita pendek (cerpen), dan novelet (novel “pendek”). Drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-dialog para tokohnya.
Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai sastra imajinatif ini harus bermuara pada bagaimana cara memahami ketiga jenis sastra imajinatif tersebut secara komprehensif. Tanpa adanya pemahaman ini, apa yang dipelajari dalam hakikat dan jenis sastra imajinatif ini hanya sekadar hiasan ilmu yang akan cepat pudar.
Dalam perkembangan sastra akhir-akhir ini, karya sastra dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu (a) sastra imajinatif, dan (b) sastra non-imajinatif.
Sastra imajinatif mempunyai ciri
a. isinya bersifat khayali
b. menggunakan bahasa yang konotatif
c. memenuhi syarat-syarat estetika seni.

Bentuk karya sastra yang termasuk karya sastra imajinatif yaitu :
a. Puisi : 1. epik 2. lirik 3. dramatik
b. Prosa : 1. fiksi (novel, cerpen, roman) dan
2. drama (drama prosa, drama puisi)

B. Sastra Non-Imajinatif

Sastra non-imajinatif memiliki beberapa ciri yang mudah membedakannya dengan sastra imajinatif. Setidaknya terdapat dua ciri yang berkenaan dengan sastra tersebut. Pertama, dalam karya sastra tersebut unsur faktualnya lebih menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan kalaupun muncul konotatif, kekonotatifan tersebut amat bergantung pada gaya penulisan yang dimiliki pengarang. Persamaannya, baik sastra imajinatif maupun non-imajinatif, keduanya sama-sama memenuhi estetika seni (unity = keutuhan, balance = keseimbangan, harmony = keselarasan, dan right emphasis = pusat penekanan suatu unsur).
Sastra non-imajinatif itu sendiri merupakan sastra yang lebih menonjolkan unsur kefaktualan daripada daya khayalnya dan ditopang dengan penggunaan bahasa yang cenderung denotatif.
Dalam prakteknya jenis sastra non-imajinatif ini terdiri atas karya-karya yang berbentuk esai, kritik, biografi, autobiografi, memoar, catatan harian, dan surat-surat.

Sastra non-imajinatif mempunyai ciri-ciri
a. isinya menekankan unsur faktual/faktanya.
b. Menggunakan bahasa yang cenderung denotatif.
c. Memenuhi unsur-unsur estetika seni.
Bentuk karya sastra yang termasuk sastra non-imajinatif :
a. Esai, yaitu karangan pendek tentang suatu fakta yang dikupas menurut pandangan pribadi penulisnya.
b. Kritik, adalah analisis untuk menilai suatu karya seni atau karya sastra.
c. Biografi, adalah cerita tentang hidup seseorang yang ditulis oleh orang lain.
d. Otobiografi, adalah biografi yang ditulis oleh tokohnya sendiri.
e. Sejarah, adalah cerita tentang zaman lampau suatu masyarakat berdasarkan sumber tertulis maupun tidak tertulis.
f. Memoar, adalah otobiografi tentang sebagian pengalaman hidup saja.
g. Catatan harian, adalah catataan seseorang tentang dirinya atau lingkungannya yang ditulis secara teratur.

Hakikat Sastra dan Kesastraan

Oleh : 

Muhsyanur Syahrir


A. Pengertian Sastra 

Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta (śāstra), yang berarti "teks yang mengandung instruksi" atau "pedoman", dari kata dasar śās- yang berarti "instruksi" atau "ajaran". Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada "kesusastraan" atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.
Menurut Robert Scholes (dalam Luxemburg dkk, 1992: 1), sastra itu sebuah kata, bukan sebuah benda. Mengutip pandangan Robert Scholes tersebut, dapat dikatakan bahwa sastra merupakan ruang yang mengedepankan kata-kata (semacam lahan berekspresi) dibandingkan pada kebendaan yang mungkin setiap saat bisa lapuk dan binasa. Kata-kata diyakini akan lebih awet sebab ia berputar pada imajinasi antara hati dan otak manusia. Sehingga jarang untuk binasa.
Sapardi (1979: 1) sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium: bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar-masyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang, yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat.
Plato mengemukakan bahwa sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis). Sebuah karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Oleh karena itu, nilai sastra semakin rendah dan jauh dari dunia ide.
Sedangkan Aristoteles (murid Plato), mengemukakan sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Menurut kaum formalisme Rusia, sastra adalah sebagai gubahan bahasa yang bermaterikan kata-kata dan bersumber dari imajinasi atau emosi pengarang. Dalam “Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern” yang disusun oleh Muhammad Ali Hakikat, bahwa kebenaran atau kenyataan yang sebenarnya. Dari berbagai pendapat yang dipaparkan sebelumnya maka dapat ditarik sebuah garis simpulan tentang hakikat sastra yaitu pengungkapan realitas kehidupan masyarakat secara imajiner atau secara fiksi.
Dalam hal ini, sastra memang representasi dari cerminan masyarakat. Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Georg Lukacs (Taum, 1997: 50) bahwa sastra merupakan sebuah cermin yang memberikan kepada kita sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik. Menurut Rapi Tang (2005: 1), sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Sastra adalah sesuatu yang di dalamnya sudah mengandung penilaian seni yang indah (Pradopo, 1994: 30). Sastra berhubungan dengan penciptaan dan ungkapan pribadi (ekspresi), dengan demikian setiap batasan sastra hanya menyangkut salah satu segi saja dari pengertian sastra (Sumardjo, 1984: 15).
Sastra merupakan upaya yang penuh prakarsa dan keseksamaan yang dilakukan manusia di dalam mengendalikan lingkungan rohaninya.
Selain pemaparan di atas, di bawah ini juga akan dijelaskan secara detail tentang sastra :
1. Sastra (Sansekerta शास्त्र, shastra) merupakan kata serapan dari bahasa Sansekerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”.
2. Suatu hasil karya baru dapat dikatakan memiliki nilai sastra bila di dalamnya terdapat kesepadanan antara bentuk dan isinya. Bentuk bahasanya baik dan indah, dan susunannya beserta isinya dapat menimbulkan perasaan haru dan kagum di hati pembacanya.
3. Bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); Karya tulis, yang jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.
4. Secara etimologis kata sastra berasal dari bahasa sansekerta, dibentuk dari akar kata sas- yang berarti mengarahkan, mengajar dan memberi petunjuk. Akhiran –tra yang berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk..
5. Secara harfiah kata sastra berarti huruf, tulisan atau karangan.
6. Sastra adalah karangan imajinatif yang mengungkapkan pengalaman hidup dan batin manusia.
7. Sastra ialah karya tulis yang jika dibandingkan dengan karya tulis lain, memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keorisinalan, keartisikan, serta keindahan dalam isi dan ungkapannya.
8. Sastra adalah perwujudan pikiran dalam bentuk tulisan.
9. Sastra adalah sebuah intruksi yang bersifat seni melalui daya imajinas dan keindahan. (Binar Agni, S.Si).
10. Satra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab bukan dalam bahasa sehari-hari.
11. Sastra adalah seni berbahasa (art for communication).
12. Sastra adalah ungkapan spontan dari perasaan yang mendalam.
13. Sastra adalah ekspresi pikiran (pandangan, ide, perasaan, pemikiran) dalam bahasa.
14. Sastra adalah inspirasi kehidupan yanag dimateraikan dalam sebuah bentuk keindahan.
15. Sastra adalah buku-buku yang memuat perasaan kemanusiaan yang mendalam dan kebenaran moral dengan sentuhan kesucian, keluasan pandangan, dan bentuk yang mempesona.
16. Sesuatu disebut teks sastra jika (1) teks tersebut tidak melulu disusun untuk tujuan komunikatif praktis atau sementara waktu, (2) teks tersebut mengandung unsur fiksionalitas, (3) teks tersebut menyebabkan pembaca mengambil jarak, (4) bahannya diolah secara istimewa, dan (5) mempunyai keterbukaan penafsiran.
17. Sastra mrupakan sentuhan kesucian, keluasan pandangan, dan bentuk yang mempesona.
18. Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakainan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Sampai saat ini ada keyakinan bahwa ada tiga hal yang membedakan karya sastra dengan karya tulis lainnya, yaitu :
a. sifat khayali
b. adanya nilai-nilai seni/estetika
c. penggunaan bahasa yang khas

B. Pengertian Kesusastraan

Kata kesusastraan dari bahasa sansekerta, terbentuk dari kata sucastra dan mendapat imbuhan ke-an. Kata sucastra masih dapat dipecah lagi menjadi kata su dan sastra. Su berarti baik atau indah, sedangkan sastra bararti tulisan, huruf, atau karangan. Susastra berarti tulisan atau karangan yang baik dan indah, sedangkan imbuhan ke-an berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan kata yang mendapat imbuhan tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa kesusastraan berarti semua tulisan atau karangan yang ditulis dengan bahasa yang indah dan mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.
Sejalan dengan pengertian tersebut, H. Ucu Jamaludin Abdurohman mengemukakan pengertian yang sama yaitu kesusastraan berasal dari ke-susastra-an. Susastra berasal dari sastra. Sastra berasal dari akar kata sas artinya ajar dan tra artinya alat. Sastra berarti alat belajar. Su awalan yang berarti baik, bagus, indah. a) Susastra yaitu karangan (alat/ aturan yang berisi ajaran/ petunjuk) yang indah bahasanya. b) Kesusastraan yaitu segala hasil cipta manusia dengan bahasa sebagai alatnya yang indah dan baik isinya, sehingga dapat meningkatkan budi pekerti manusia. Jadi, kesusastraan adalah segala tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah sehingga sastra adalah suatu komunikasi yang hidup bersama bahasa.
Dalam kesusastraan, tulisan atau karangan harus meliputi:
1. Bahasa yang terpelihara baik.
2. Isinya yang baik, artinya benar-benar menggambarkan kebenaran dalam kehidupan manusia di alam ini.
3. Cara menyajikan haruslah indah dan menarik sehingga terkesan dan dapat menyentuh hati pembaca atau pendengarnya.
Namun demikian, diskusi tentang hakikat sastra sampai sekarang masih hangat. Hal itu karena banyak definisi yang tidak memuaskan. Definisi-definisi yang pernah ada kurang memuaskan karena:
1. Pada dasarnya sastra bukanlah ilmu, sastra adalah cabang seni. Seni sangat ditentukan oleh faktor manusia dan penafsiran, khususnya masalah perasaan, semangat, kepercayaan. Dengan demikian, sulit sekali dibuat batasan atau definisi sastra di mana definisi tersebut dihasilkan dari metode ilmiah.
2. Orang ingin mendefinisikan terlalu banyak sekaligus. Seperti diketahui, karya sastra selalu melekat dengan situasi dan waktu penciptaannya. Karya sastra tahun 1920-an tentu berbeda dengan karya sastra tahun 1966. Kadang-kadang definisi kesusastraan ingin mencakup seluruhnya, sehingga mungkin tepat untuk satu kurun waktu tertentu tetapi ternyata kurang tepat untuk yang lain.
3. Orang ingin mencari definisi ontologis tentang sastra (ingin mengungkap hakikat sastra). Karya sastra pada dasarnya merupakan hasil kreatifitas manusia. Kreatifitas merupakan sesuatu yang sangat unik dan individual. Oleh sebab itu sangat tidak memungkinkan jika orang mau mengungkap hakikat sastra.
4. Orientasinya terlalu kebarat-baratan. Ketika orang mencoba mendefinisikan kesusastraan, orang cenderung mengambil referensi dari karya-karya Barat. Padahal belum tentu telaah yang dilakukan untuk karya sastra Barat sesuai untuk diterapkan pada karya sastra Indonesia.
5. Biasanya terjadi percampuran antara mendefinisikan sastra dan menilai bermutu tidaknya suatu karya sastra. Definisi mensyaratkan sesuatu rumusan yang universal, berlaku umum, sementara penilaian hanya berlaku untuk karya-karya tertentu yang diketahui oleh pembuat definisi.
Kesusastraan biasanya dibagi menurut daerah georafis atau bahasanya. yang termasuk ke dalam kategori sastra adalah sebagai berikut: novel, cerita/ cerpen (tertulis/ lisan), syair, pantun, sandiwara/ drama, serta lukisan/ kaligrafi.
Dalam “Theory of Literature” karangan Rene Wellek dan Austin Warren, dinyatakan bahwa ciri atau sifat-sifat kesusastraan adalah 1) fiction, 2) imagination, 3) invention. Jadi, menurut Wellek dan Warren, karangan yang bersifat rekaan biasanya berdasarkan daya angan (imajinasi) dan mengandung daya cipta merupakan kesusatraan. Dijelaskan pula bahwa karena sifat-sifat tersebut, maka kesusastraan selalu berbentuk 1) lirik, 2) epik, dan 3) dramatik.
Secara detail, di bawah ini juga dijelaskan beberapa pendapat tentang kesusastraan yaitu :
1. Kesusatraan adalah sebuah karya tulis yang jika dibandingkan dengan tulisan lain memiliki bebragai ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkpannya, drama, epik, dan lirik.
2. Kesusastraaan adalah kegiatan ilmiah yang bersifat seni untuk menghasilkan hasil karya yang berisikan sastra keindahan baik dari segi penyusunan maupun ungkapan.
3. Kesusastraaan adalah kegiatan-kagiatan yang dilakukan yang bersifat atau berhubungan dengan sastra.
4. Kesusastraan merupakan kegiatan ilmiah yang bersifat imajinasi (hayal), art (seni), dan mengandung perasaan yang indah.
5. Kesusastraan adalah segala tulisan atau karangan yang mengandung nilai-nilai kebaikan yang ditulis dengan bahasa yang indah sehingga sastra adalah suatu komunikasi yang hidup bersama bahasa.

C. Pembagian dan Genre (jenis-jenis) Sastra

Karya sastra Indonesia dapat dibagi menjadi dua menurut zaman pembuatan karya sastra tersebut. Yang pertama adalah karya sastra lama Indonesia dan karya sastra baru Indonesia. Masing-masing karya memiliki ciri khas tersendiri.
Karya sastra lama adalah karya sastra yang lahir dalam masyarakat lama, yaitu suatu masyarakat yang masih memegang adat istiadat yang berlaku di daerahnya. Karya sastra lama biasanya bersifat moral, pendidikan, nasihat, adat istiadat, serta ajaran-ajaran agama. Sastra lama Indonesia memiliki ciri-ciri:
1. terikat oleh kebiasaan dan adat masyarakat;
2. bersifat istana sentries;
3. bentuknya baku;
4. biasanya nama pengarangnya tidak disertakan (anonim).
Bentuk sastra lama Indonesia adalah pantun, gurindam, syair, hikayat, dongeng, dan tambo.
Karya sastra baru Indonesia sangat berbeda dengan sastra lama. Karya sastra ini sudah tidak dipengaruhi adat kebiasaan masyarakat sekitarnya. Malahan karya sastra baru Indonesia cenderung dipengaruhi oleh sastra dari Barat atau Eropa. Ciri-ciri sastra baru Indonesia adalah:
1. ceritanya berkisar kehidupan masyarakat;
2. bersifat dinamis (mengikuti perkembangan zaman;
3. mencerminkan kepribadian pengarangnya;
4. selalu diberi nama sang pembuat karya sastra.
Bentuk sastra baru Indonesia antara lain adalah roman, novel, cerpen, dan puisi modern.
Dalam ilmu sastra, para pakar pada masa sekarang ini emngungkap bahwa yang termasuk genre (jenis) sastra yaitu :
1. Prosa Fiksi
2. Puisi, dan
3. Drama
Genre (jenis) sastra yang disebut di atas, akan dijelaskan secara detail dan lengkap pada bab tertentu di dalam buku ini.

D. Kriteria Karya Sastra
Untuk menentukan baik-buruknya, berhasil tidaknya atau populer tidaknya sebuah karya sastra yang bersangkutan, ada beberapa kriteria yang dapat digunakan, yaitu sebagai berikut:
1. Kriteria kebaruan (inovasi)
Dalam hal ini, acuan untuk menentukannya bukan pada tema karya bersangkutan, melainkan pada semua unsur intrinsik yang terdapat pada karya-karya yang terbit sebelumnya.

2. Kepaduan (koherensi)
Dalam hal ini yang dilihat adalah kepaduan dari pilihan kata (diksi) yang digunakannya dalam karya sastra tersbut.



3. Kompleksitas (kerumitan)
Hal yang dilihat adalah bagaimana pemahaman sastrawan mengenai masalah budaya yang melingkarinya. Pemahaman kultural itulah yang kemudian disajikan dan berusaha diselesaikan pengarang, juga melalui pendekatan budaya. Dengan begitu, penyelesaiannya juga tentu saja tidak sederhana, dan tidak mungkin dapat dilakukan secara hitam putih. Dalam kriteria ini, pembaca diajak juga untuk merefleksikan atau ikut memikirkan persoalan yang dihadapi tokoh-tokoh dalam novel bersangkutan. Jadi, bisa saja masalahnya sederhana, tetapi penyajiannya begitu rumit yang menyangkut masalah sosial budaya yang pada akhirnya bermuara pada masalah manusia dan kemanusiaan secara universal.

4. Orisinalitas (keaslian)
Banyak aspek yang dapat digunakan untuk menilai orisinalitas karya sastra. Pertama, dilihat dari salah satu unsurnya yang membangun karya sastra yang bersangkutan; tema, latar, tokoh, alur, atau sudut pandang (jika novel); bait, larik, diksi, atau majas (jika puisi), atau tokoh, tema, latar, alur, bentuk dialog atau petunjuk pemanggungan (jika drama). Kedua, dilihat dari cara penyajiannya; bagaimana pengarang menyampaikan kisahannya (novel), citraannya (puisi) atau dialog dan petunjuk pemanggungannya (drama).

5. Kematangan (berwawasan dan intelektualitas)
Kriteria ini berkaitan dengan bagaimana pengarang mengolah kenyataan faktual, baik peristiwa besar atau biasa, menjadi sesuatu yang memukau, mempesona dan sekaligus juga merangsang emosi pembaca, meskipun pengarangnya sendiri mungkin tidak mempunyai potensi untuk itu.

6. Kedalaman (eksploratif)
Kriteria ini menyangkut kedalaman makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra (ada makna yang berarti di dalam karya tersebut.
Pemahaman mengenai keenam kriteria itu, sangat mungkin akan memudahkan kita untuk menilai karya sastra. Bagaimanapun juga, dengan keenam kriteria itu, kita mempunyai ukuran, parameter, atau dasar objektivitas untuk menilai keberhasilan atau kelemahan karya yang bersangkutan. Paling tidak, penilaian kita terhadap karya sastra tertentu, mempunyai landasan yang dapat dipertanggungjawabkan, objektif, dan beralasan.
Menurut Luxemburg (1992:4-6) beberapa ciri karya sastra yang selalu muncul dari definisi-definisi yang pernah diungkapkan antara lain:
a) Sastra merupakan ciptaan atau kreasi, bukan pertama-tama imitasi.
b) Sastra bersifat otonom (menciptakan dunianya sendiri), terlepas dari dunia nyata.
c) Sastra mempunyai ciri koherensi atau keselarasan antara bentuk dan isinya.
d) Sastra menghidangkan sintesa (jalan tengah) antara hal-hal yang saling bertentangan.
e) Sastra berusaha mengungkapkan hal yang tidak terungkapkan.
Jako Sumardjo dan Zaini KM (1988: 5 - 8) mengajukan sepuluh syarat karya sastra bermutu, yaitu:
1. Karya sastra adalah usaha merekam isi jiwa sastrawannya.
2. Sastra adalah komunikasi, artinya bisa dipahami oleh orang lain.
3. Sastra adalah sebuah keteraturan, artinya tunduk pada kaidah-kaidah seni.
4. Sastra adalah penghiburan, artinya mampu memberi rasa puas atau rasa senang pada pembaca.
5. Sastra adalah sebuah integrasi, artinya terdapat keserasian antara isi, bentuk, bahasa, dan ekspresi pribadi pengarangnya.
6. Sebuah karya sastra yang bermutu merupakan penemuan.
7. Karya yang bermutu merupakan (totalitas) ekspresi sastrawannya.
8. Karya sastra yang bermutu merupakan sebuah karya yang pekat, artinya padat isi dan bentuk, bahasa, dan ekspresi.
9. Karya sastra yang bermutu merupakan (hasil) penafsiran kehidupan.
10. Karya sastra yang bermutu merupakan sebuah pembaharuan.
Berbeda dengan Jako Sumardjo dan Zaini KM, Luxemburg berpendapat bahwa;
1. Karya sastra adalah teks-teks yang tidak disusun untuk tujuan komunikasi praktis dan sementara waktu.
2. Karya sastra adalah teks-teks yang mengandung unsur fiksionalitas.
3. Karya sastra adalah jika pembacanya mengambil jarak dengan teks tersebut.
4. Bahannya diolah secara istimewa.
5. Karya sastra dapat kita baca menurut tahap-atahp arti yang berbeda-beda.
6. Karena sifat rekaannya sastra secara langsung tidak mengatakan sesuatu mengenai kenyataan dan juga tidak menggugah kita untuk langsung bertindak.
7. Sambil membaca karya sastra tersebut kita dapat mengadakan identifikasi dengan seorang tokoh atau dengan orang-orang lain.
8. Bahasa sastra dan pengolahan bahan lewat sastra dapat membuka batin kita bagi pengalaman-pengalaman baru.
9. Bahasa dan sarana-sarana sastra lainnya mempunyai suatu nilai tersendiri.
10. Sastra sering digunakan untuk mencetuskan pendapat yang hidup dalam masyarakat.

Menurut Sumardjo (1984: 13) ciri-ciri karya sastra adalah sebagai berikut:
1. Sastra itu memberikan hiburan: karya sastra yang baik selalu menyenangkan untuk dibaca, karya sastra adalah sesuatu yang indah.
2. Sastra menunjukkan kebenaran hidup manusia: betapapun menariknya sebuah karya kalau ia berisi pengalaman yang menyesatkan hidup manusia (misalnya penuh kecabulan dan cerita kekejaman), ia tak pantas disebut karya sastra.
3. Sastra itu melampaui batas bangasa dan zaman: kitab sastra Mahabharata dan Ramayana menceritakan kejadian beberapa ratusan tahun sebelum masehi tetapi masih digemari orang dalam abad 20-an ini.

Nah, sedangkan menurut penyusun sendiri, (Muhsyanur) dalam memberikan defenisi dan penilaian terhadap sastra yaitu sebagai berikut :
1. Sastra merupakan sesuatu yang indah dan menyenangkan (enjoyable), sebab dalam penulisannya menggunakan berbagai ragam perasaan; hayali, rekaan, dan sebagainya.
2. Sastra merupakan bagian dari ilmu dalam bentuk tulisan yang memberikan wawasan, dan kesan kepada pembaca atau penikmat.
3. Sastra merupakan alat komunikasi, alat perantara untuk menyampaikan perasaan, ide, dan gagasan penulis terhadap penikmat atau pembaca itu sendiri.

Sejarah dan Periodesasi Sastra

Oleh : 
Muhsyanur Syahrir

A. Sejarah Sastra di Indonesia

Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke waktu. Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yaitu ilmu yang mempelajari tentang sastra dengan berbagai permasalahannya. Di dalamnya mencakup teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra, di mana ketiga hal tersebut saling berkaitan.
Selanjutnya (Todorov; 1985: 61) mengatakan bahwa tugas sejarah sastra sebagai berikut :
1. Meneliti keragaman setiap kategori sastra.
2. Meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis.
3. Maupun secara sinkronis.
4. Menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari satu masa ke masa berikutnya.
Kepulauan Nusantara yang terletak di antara Benua Asia dan Australia dan diantara Samudra Hindia/ Indonesia dengan Samudra Pasifik/ Lautan Teduh, dihuni oleh beratus-ratus suku bangsa yang masing-masing mempunyai sejarah, kebudayaan, adat istiadat dan bahasa sendiri-sendiri.
Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yaitu salah satu bahasa daerah di Nusantara. Bahasa Melayu digunakan oleh masyarakat Melayu yang berada di Pantai Timur Pulau Sumatera.
Kerajaan Melayu yang berpusat di daerah Jambi, pada pertengahan abad ke-7 (689-692) dikuasai oleh Sriwijaya yang beribu kota di daerah Palembang sekarang ini.
1. Kesusastraan Melayu Klasik
Sastra Melayu Klasik tidak dapat digolongkan berdasarkan jangka waktu tertentu karena hasil karyanya tidak memperlihatkan waktu. Semua karya berupa milik bersama. Karena itu, penggolongan biasanya berdasarkan atas : bentuk, isi, dan pengaruh asing.

a. Kesusastraan Rakyta (Kesusastraan Melayu Asli)
Kesusastraan rakyat / kesusastraan melayu asli, hidup di tengah-tengah masyarakat. Cerita itu diturunkan dari orang tua kapada anaknya, dari nenek mamak kepada cucunya, dari pencerita kepada pendengar. Penceritaan ini dikenal sebagai sastra lisan (oral literature).
Kesusastraan yang tumbuh tidak terlepas dari kebudayaan yang ada pada waktu itu. Pada masa Purba (sebelum kedatangan agama Hindu, Budha dan Islam) kepercayaan yang dianut masyarakat adalah animisme dan dinamisme. Karena itu, cerita mereka berhubungan dengan kepercayaan kepada roh-roh halus dan kekuatan gaib yang dimilikinya. Misalnya :
1) cerita asal-usul;
2) cerita binatang;
3) cerita jenaka;
4) cerita Pelipur lara.

b. Pengaruh Hindu dalam Kesusastraan Melayu
Pengaruh Hindu Budha di Nusantara sudah sejak lama. Menurut J.C. Leur (Yock Fang :1991:50) yang menyebarkan agama Hindu di Melayu adalah para Brahmana. Mereka diundang oleh raja untuk meresmikan yang menjadi ksatria. Kemudian dengan munculnya agama Budha di India maka pengaruh India terhadap bangsa Melayu semakin besar. Apalagi agama Budha tidak mengenal kasta, sehingga mudah beradaptasi dengan masyarakat Melayu.

- Epos India dalam kesusastraan Melayu

Ramayana : cerita Ramayana sudah dikenal lama di Nusantara. Pada zaman pemerintahan Raja Daksa (910-919) cerita rama diperlihatkan di relief-relief Candi Loro Jonggrang. Pada tahun 925 seorang penyair telah menyalin cerita Rama ke dalam bentuk puisi Jawa yaitu Kakimpoi Ramayana. Lima ratus tahun kemudian cerita Rama dipahat lagi sebagai relief Candi Penataran. Dalam bahasa Melayu cerita Rama dikenal dengan nama Hikayat Sri Rama yang terdiri atas dua versi : 1) Roorda van Eysinga (1843) dan W.G. Shelabear.
Mahabarata : Bukan hanya sekadar epos tetapi sudah menjadi kitab suci agama Hindu. Dalam sastra melayu Mahabarata dikenal dengan nama Hikayat Pandawa. Dalam sastra jawa pengaruh Mahabarata paling tampak dari cerita wayang.

c. Kesusastraan Zaman peralihan Hindu-Islam, dan Pengaruh Islam.
Sastra zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur Hindu dengan sastra yang berunsur Islam didalamnya. Contoh karya-karya sastra yang masuk dalam masa ini adalah ; Hikayat Puspa Raja, Hikayat Parung Punting, Hikayat Lang-lang Buana, dan sebagainya.
Sastra pengaruh Islam adalah karya sastra yang isinya tentang ajaran agama Islam yang harus dilakukan oleh penganut agama Islam. Contoh karya : Hikayat Nur Muhammad, Hikayat Bulan Berbelah, Hikayat Iskandar Zulkarnaen dan sebagainya.
Perkembangan agama Islam yang pesat di Nusantara sebenarnya bertalian dengan perkembangan Islam di dunia. Pada tahun 1198 M. Gujarat ditaklukkan oleh Islam. Melalui Perdagangan oleh bangsa Gujarat, Islam berkembang jauh sampai ke wilayah Nusantara. Pada permulaan abad ke-13 Islam berkembang pesat di Nusantara.
Pada abad ke-16 dan ke-17 kerajaan-kerajaan di Nusantara satu persatu menjadi wilayah jajahan bangsa Eropa yang pada mulanya datang ke Nusantara karena mau memiliki rempah-rempah.
d. Kesusastraan Masa Peralihan : Perkembangan dari Melayu Klasik ke Melayu Modern
Pada masa ini perkembangan antara kesusastraan Melayu Klasik dan kesusastraan Melayu Modern peralihannya dilihat dari sudut isi dan bahasa yang digunakan oleh pengarangnya. Dua orang tokoh yang dikenal dalam masa peralihan ini adalah Raja Ali Haji dari pulau Penyengat, Kepulauan Riau, dan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dari Malaka.
Contoh karya Abdullah : Hikayat Abdullah, Syair Singapura dimakan Api, ia juga menerjemahkan Injil ke dalam bahasa melayu.

Contoh Gurindam Raja Ali Haji :

Gurindam pasal pertama

Barang siapa tidak memegang agama
Sekali-kali tidakkan boleh dibilangkan nama

Barang siapa mengenal yang empat
Ia itulah orang yang makrifat
Barang siapa mengenal Allah
Suruh dan tengahnya tiada ia menyalah
Barang siapa mengenal dunia
tahulah ia barang yang terperdaya
Barang siapa mengenal akhirat
Tahulah ia dunia mudarat
Kurang fikir, kurang siasat
Tinta dirimu kelah tersesat
Fikir dahulu sebelum berkata
Supaya terlelah selang sengketa
Kalau mulut tajam dan kasar
Boleh ditimpa bahaya besar
Jika ilmu tiada sempurna
Tiada berapa ia berguna.


2. Kesusastraan Melayu Modern
Pada masa Melayu Modern ini merupakan lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern. Jika menggunakan analogi ¨Sastra ada setelah bahasa ada¨ maka kesusastraan Indonesia baru ada mulai tahun 1928. Karena nama ¨bahasa Indonesia¨ secara politis baru ada setelah bahasa Melayu di diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928 yang dikenal dengan Sumpah Pemuda.
Namun menurut Ayip Rosidi dan A. Teeuw, Kesusastraan Indonesia Modern ditandai dengan rasa kebangsaan pada karya sastra. Contohnya seperti : Moh. Yamin, Sanusi Pane, Muh. Hatta yang mengumumkan sajak-sajak mereka pada majalah Yong Sumatera sebelum tahun 1928.
Bertolak pada kesepakatan ahli yang menyatakan bahwa sastra Indonesia berawal pada roman-roman terbitan Balai Pustaka pada tahun 1920-an, sejarahnya hingga sekarang terhitung masih sangat muda, sekitar 80 tahun. Karena itu, diperlukan buku-buku sejarah sastra yang bisa dirujuk pelajar, mahasiswa, peminat, dan ahli sastra.
Oleh karena itu, wajarlah apabila perjalanan sejarah sastra Indonesia dibagi-bagi dengan mempertimbangkan momentum perubahan sosial dan politik, seperti tampak dalam buku Ajip Rosidi (1968). Pembagian yang lebih rinci dengan angka tahun menjadi 1900-1933, 1933-1942, 1942-1945, 1945-1953, 1953-1961, dan 1961-1967 dengan warna yang berbeda sebagaimana tampak pada sejumlah karya-karya sastra yang penting. Kemudian pada periode 1961-1967 tampak menonjol warna perlawanan dan perjuangan untuk mempertahankan martabat, sedangkan sesudahnya tampak warna percobaan dan penggalian berbagai kemungkinan pengucapan sastra.
Format baru kalau momentum sosial-politik masih dipergunakan sebagai ancangan periodisasi sejarah sastra Indonesia 1900-2000, mungkin saja tercatat format baru dengan menempatkan tiga momentum besar sebagai tonggak-tonggak pembatas perubahan sosial, politik, dan budaya, yaitu proklamasi kemerdekaan 17 Agustus1945, geger politik dan tragedi nasional 30 September 1965, dan reformasi politik 21 Mei 1998.
Analisis struktural Umar Yunus tentang perkembangan puisi Indonesia dan Melayu modern (Bhratara, Jakarta, 1981) dan telaah struktural tentang novel Indonesia (University of Malaysia, Kuala Lumpur, 1974) barangkali dapat dipergunakan sebagai rujukan untuk menjelaskan perubahan-perubahan tersebut.
Dengan mempertimbangkan ketiga momentum tersebut maka diperoleh empat masa perjalanan sejarah sastra Indonesia, yaitu masa pertama mencakup tahun 1900-1945, masa kedua mencakup tahun 1945-1965, masa ketiga mencakup tahun 1965-1998, dan masa keempat yang dimulai pada tahun 1998 hingga waktu yang belum dapat diperhitungkan.
Dengan meminjam baju politik yang dianggap populer dan tetap mempertimbangkan nasionalisme maka penamaan keempat masa perjalanan sastra Indonesia itu bisa menghasilkan tawaran sebagai berikut: Masa Pertumbuhan atau Masa Kebangkitan dapat dipergunakan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1900-1945 dengan alasan bahwa pada masa itu telah tumbuh nasionalisme yang juga tampak dalam sejumlah karya sastra, seperti sajak-sajak Rustam Efendi, Muhamad Yamin, Asmara Hadi dan lain-lain. Yang jelas, pada masa itu perkembangan karya sastra yang sebagian sudah bersemangat Indonesia dan sekarang memang tercatat sebagai modal awal khazanah sastra Indonesia.
Masa Pemapanan dapat dimanfaatkan untuk mewadahi kehidupan sastra Indonesia tahun 1965-1998 dengan alasan pada masa itu terjadi pemapanan berbagai sistem: sosial, politik, penerbitan, dan pendidikan yang dampaknya tampak juga di bidang sastra Indonesia. Mengingat besarnya muatan sejarah sastra Indonesia itu maka diperlukan pembagian sejarah pertumbuhan dan perkembangannya menjadi empat masa seperti tersebut sebelumny, yaitu (1) masa pertumbuhan atau masa kebangkitan yang disebutkan sebelumnya dengan angka tahun 1900-1945, (2) masa pergolakan atau masa revolusi dengan angka tahun 1945-1965, (3) masa pemapanan dengan angka tahun 1965-1998, dan (4) masa pembebasan dengan angka tahun 1998-sekarang.
B. Periodisasi Sastra Indonesia
Ada beberapa pendapat tentang periodisasi sastra Indonesia, Penyusun mengambil dua diantaranya :
1. Menurut Nugroho Notosusanto
a. Kesusastraan Melayu Lama
1) Kesusastraan Indonesia Modern.
Zaman Kebangkitan : Periode 1920, 1933, 1942, 1945.
2) Zaman Perkembangan : Periode 1945, 1950 sampai sekarang.
2. Menurut Simomangkir Simanjuntak
a. Kesusastraan Masa Lama/ Purba : sebelum datangnya pengaruh hindu.
b. Kesusastraan Masa Hindu/ Arab : mulai adanya pengaruh hindu sampai dengan kedatangan agama Islam.
c. Kesusastraan Masa Islam.
d. Kesusastraan Masa Baru.
1) Kesusastraan Masa Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi
2) Masa Balai Pustaka
3) Masa Pujangga Baru
4) Kesusastraan Masa Mutakhir : 1942 hingga sekarang.
Berdasarkan urutan waktu, maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan yaitu :

1. Angkatan Pujangga Lama
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di Indonesia didominasi oleh
syair, pantun, gurindam dan hikayat.
Karya Sastra Pujangga Lama :
• Sejarah Melayu
• Hikayat Abdullah - Hikayat Andaken Penurat - Hikayat Bayan Budiman - Hikayat Djahidin - Hikayat Hang Tuah - Hikayat
Kadirun - Hikayat Kalila dan Damina - Hikayat Masydulhak - Hikayat Pandja Tanderan - Hikayat Putri Djohar Manikam – Hikayat Tjendera Hasan - Tsahibul Hikayat.
• Syair Bidasari - Syair Ken Tambuhan - Syair Raja Mambang Jauhari - Syair Raja Siak dan
• Berbagai Sejarah, Hikayat, dan Syair lainnya.

2. Angkatan Sastra Melayu Lama
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang di lingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Padang, dan daerah Sumatera lainnya", Cina dan masyarakat Indo-Eropa.
Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel Barat.
“Karya Sastra "Melayu Lama"
•Robinson Crusoe (terjemahan)
•Lawan-lawan Merah
•Mengelilingi Bumi dalam 80 hari (terjemahan)
•Graaf de Monte Cristo (terjemahan)
•Kapten Flamberger (terjemahan)
•Rocambole (terjemahan)
•Nyai Dasima oleh G. Francis (Indo)
•Bunga Rampai oleh A.F van Dewall
•Kisah Perjalanan Nakhoda Bontekoe
•Kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan
•Kisah Pelayaran ke Makassar dan lain-lainnya
•Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R Kommer (Indo)
•Cerita Nyi Paina
•Cerita Nyai Sarikem
•Cerita Nyonya Kong Hong Nio
•Nona Leonie
•Warna Sari Melayu oleh Kat S.J
•Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan
•Cerita Rossina
•Nyai Isah oleh F. Wiggers
•Drama Raden Bei Surioretno
•Syair Java Bank Dirampok
•Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang
•Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen
•Tambahsia
•Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo
•Nyai Permana
•Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo), dan masih ada
sekitar 3000 judul karya sastra Melayu-Lama lainnya.

3. Angkatan Balai Pustaka
Karya sastra di Indonesia sejak tahun 1920 - 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam, dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh
sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar).
Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
Pengarang dan karya sastra Angkatan Balai Pustaka :
•Merari Siregar
- Azab dan Sengsara: kissah kehidoepan seorang gadis (1921)
- Binasa kerna gadis Priangan (1931)
- Tjinta dan Hawa Nafsu
•Marah Roesli
- Siti Nurbaya
- La Hami
- Anak dan Kemenakan
•Nur Sutan Iskandar
- Apa Dayaku Karena Aku Seorang Perempuan
- Hulubalang Raja (1961)
- Karena Mentua (1978)
- Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)
•Abdul Muis
- Pertemuan Djodoh (1964)
- Salah Asuhan
- Surapati (1950)
•Tulis Sutan Sati
- Sengsara Membawa Nikmat (1928)
- Tak Disangka
- Tak Membalas Guna
- Memutuskan Pertalian (1978)
•Aman Datuk Madjoindo
- Menebus Dosa (1964)
- Si Tjebol Rindoekan Boelan (1934)
- Sampaikan Salamku Kepadanya
•Suman Hs.
- Kasih Ta' Terlarai (1961)
- Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
- Pertjobaan Setia (1940)
•Adinegoro
- Darah Muda
- Asmara Jaya
- Sutan Takdir Alisjahbana
- Tak Putus Dirundung Malang
- Dian jang Tak Kundjung Padam (1948)
- Anak Perawan Di Sarang Penjamun (1963)
•Hamka
- Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)
- Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1957)
- Tuan Direktur (1950)
- Di dalam Lembah Kehidoepan (1940)
•Anak Agung Pandji Tisna
- Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1975)
- Sukreni Gadis Bali (1965)
- I Swasta Setahun di Bedahulu (1966)
•Said Daeng Muntu
- Pembalasan
- Karena Kerendahan Boedi (1941)

•Marius Ramis Dayoh
- Pahlawan Minahasa (1957)
- Putra Budiman: Tjeritera Minahasa (1951)
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai Raja Pengarang Balai Pustaka oleh sebab banyaknya karya tulisnya pada masa tersebut.

4. Angkatan Pujangga Baru
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
Pada masa itu, terbit pula majalah "Poedjangga Baroe" yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana dkk. Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu 1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan; 2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yangdimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

Penulis dan karya sastra Pujangga Baru :

•Sutan Takdir Alisjahbana
- Layar Terkembang (1948)
- Tebaran Mega (1963)
•Armijn Pane
- Belenggu (1954)
- Jiwa Berjiwa
- Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)
- Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)
- Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)
•Tengku Amir Hamzah
- Nyanyi Sunyi (1954)
- Buah Rindu (1950)
- Setanggi Timur (1939)
•Sanusi Pane
- Pancaran Cinta (1926)
- Puspa Mega (1971)
- Madah Kelana (1931/1978)
- Sandhyakala ning Majapahit (1971)
- Kertadjaja (1971)
•Muhammad Yamin
- Indonesia, Toempah Darahkoe (1928)
- Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
- Ken Arok dan Ken Dedes (1951)
- Tanah Air
•Roestam Effendi
- Bebasari: toneel dalam 3 pertundjukan (1953)
- Pertjikan Permenungan (1953)
•Selasih
- Kalau Ta' Oentoeng (1933)
- Pengaruh Keadaan (1957)
- J.E.Tatengkeng
- Rindoe Dendam (1934)

5. Angkatan 1945
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra
angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik - idealistik.
Penulis dan karya sastra Angkatan '45 :
•Chairil Anwar
- Kerikil Tadjam (1949)
- Deru Tjampur Debu (1949)
•Asrul Sani, Rivai Apin Chairil Anwar
- Tiga Menguak Takdir (1950)
•Idrus
- Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
- Aki (1949)
- Perempuan dan Kebangsaan
•Pramoedya Ananta Toer
- Bukan Pasar Malam (1951)
- Ditepi Kali Bekasi (1951)
- Gadis Pantai
- Keluarga Gerilja (1951)
- Mereka jang Dilumpuhkan (1951)
- Perburuan (1950)
- Tjerita dari Blora (1963)
•Mochtar Lubis
- Tidak Ada Esok (1982)
- Djalan Tak Ada Udjung (1958)
- Si Djamal (1964)
•Achdiat K. Mihardja
- Atheis - 1958
•Trisno Sumardjo
- Katahati dan Perbuatan (1952)
- Terjemahan karya W. Shakespeare: Hamlet, Impian di tengah Musim, Macbeth, Raja Lear, Romeo dan Julia, SaudagarVenezia, dll.
•M.Balfas
- Lingkaran-lingkaran Retak, kumpulan cerpen (1978)
•Utuy Tatang Sontani
- Suling (1948)
- Tambera (1952)
- Awal dan Mira - drama satu babak (1962)

6. Angkatan 1950 - 1960-an
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya
sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan
diteruskan dengan majalah sastra lainnya.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis di kalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat
(Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara
kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960, menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk
ke dalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G 30 S PKI di Indonesia.
Penulis dan karya sastra Angkatan 50-60-an Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada akhir dekade 80-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya
Barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran Timur.
•Ajip Rosidi
- Cari Muatan
- Di tengah Keluarga (1956)
- Pertemuan Kembali (1960
- Sebuah Rumah Buat Hari Tua
- Tahun-tahun Kematian (1955)
•Ali Akbar Navis
- Bianglala: kumpulan tjerita pendek (1963)
- Hudjan Panas (1963)
- Robohnja Surau Kami: 8 tjerita pendek pilihan (1950)
•Bokor Hutasuhut
- Datang Malam (1963)
•Enday Rasidin
- Surat Cinta
•Nh. Dini
- Dua Dunia (1950)
- Hati jang Damai (1960)
•Nugroho Notosusanto
- Hujan Kepagian (1958)
- Rasa Sajangé (1961)
- Tiga Kota (1959)
•Ramadhan K.H
- Api dan Si Rangka
- Priangan si Djelita (1956)
•Sitor Situmorang
- Dalam Sadjak (1950)
- Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)
- Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)
- Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)
- Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)
•Subagio Sastrowardojo
- Simphoni (1957)
•Titis Basino
- Pelabuhan Hati (1978)
- Dia, Hotel, Surat Keputusan (cerpen) (1963)
- Lesbian (1976)
- Bukan Rumahku (1976)
- Pelabuhan Hati (1978)
- Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu (1983)
- Trilogi: Dari Lembah Ke Coolibah (1997); Welas Asih
- Merengkuh Tajali (1997); Menyucikan Perselingkuhan (1998)
- Aku Supiah Istri Wardian (1998)
- Tersenyumpun Tidak Untukku Lagi (1998)
- Terjalnya Gunung Batu (1998)
- Aku Kendalikan Air, Api, Angin, dan Tanah (1998)
- Rumah Kaki Seribu (1998)
- Tangan-Tangan Kehidupan (1999)
- Bila Binatang Buas Pindah Habitat (1999)
- Mawar Hitam Milik Laras (1999)
•Toto Sudarto Bachtiar
- Suara : kumpulan sadjak 1950-1955 (1962)
- Etsa, sadjak-sadjak (1958)
•Trisnojuwono
- Angin Laut (1958)
- Dimedan Perang (1962)
- Laki-laki dan Mesiu (1951)
•W.S. Rendra
- Balada Orang Tertjinta (1957)
- Empat Kumpulan Sajak (1961)
- Ia Sudah Bertualang dan tjerita-tjerita pendek lainnja (1963)

7. Angkatan 1966 - 1970-an
Angkatan ini ditandai dengan terbitnya majalah sastra Horison. Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan
ini. Banyak karya sastra pada angkatan ini yang sangat beragam dalam aliran sastra, munculnya karya sastra beraliran
surrealistik, arus kesadaran, arketip, absurd, dan lain-lain. Pada masa angkatan ini di Indonesia, Penerbit Pustaka Jaya sangat
banyak membantu dalam menerbitkan karya-karya sastra pada masa angkatan ini. Sastrawan pada akhir angkatan yang
lalu termasuk juga dalam kelompok ini seperti Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur
Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip Soeprobo dan termasuk paus sastra
Indonesia, H. B. Jassin.
Seorang sastrawan pada angkatan 50-60-an yang mendapat tempat pada angkatan ini adalah Iwan Simatupang. Pada
masanya, karya sastranya berupa novel, cerpen, dan drama kurang mendapat perhatian bahkan sering menimbulkan
kesalah-pahaman, ia lahir mendahului zamannya.
Beberapa sastrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Akhudiat,
Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi,
Wing Kardjo, Taufik Ismail dan banyak lagi yang lainnya.
Karya Sastra Angkatan '66 :
•Sutardji Calzoum Bachri
- O
- Amuk
- Kapak
•Abdul Hadi WM
- Laut Belum Pasang – (kumpulan puisi)
- Meditasi – (kumpulan puisi)
- Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur – (kumpulan puisi)
- Tergantung Pada Angin – (kumpulan puisi)
- Anak Laut Anak Angin – (kumpulan puisi)
•Sapardi Djoko Damono
- Dukamu Abadi – (kumpulan puisi)
- Mata Pisau dan Akuarium – (kumpulan puisi)
- Perahu Kertas – (kumpulan puisi)
- Sihir Hujan – (kumpulan puisi)
- Hujan Bulan Juni – (kumpulan puisi)
- Arloji – (kumpulan puisi)
- Ayat-ayat Api – (kumpulan puisi)
•Goenawan Mohamad
- Interlude
- Parikesit
- Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang – (kumpulan esai)
- Asmaradana
- Misalkan Kita di Sarajevo
•Umar Kayam
- Seribu Kunang-kunang di Manhattan
- Sri Sumarah dan Bawuk – (kumpulan cerita pendek)
- Lebaran di Karet, di Karet - (kumpulan cerita pendek)
- Pada Suatu Saat di Bandar Sangging
- Kelir Tanpa Batas
- Para Priyayi
- Jalan Menikung
•Danarto
- Godlob
- Adam Makrifat
- Berhala
•Putu Wijaya
- Telegram
- Stasiun
- Pabrik
- Gres – Putu Wijaya
- Bom
- Aduh – (drama)
- Edan – (drama)
- Dag Dig Dug – (drama)
•Iwan Simatupang
- Ziarah
- Kering
- Merahnya Merah
- Koong
- RT Nol / RW Nol – (drama)
- Tegak Lurus Dengan Langit
•Arifin C. Noer
- Tengul – (drama)
- Sumur Tanpa Dasar – (drama)
- Kapai Kapai – (drama)
•Djamil Suherman
- Sarip Tambak-Oso
- Umi Kulsum – (kumpulan cerita pendek)
- PerjaLanan ke Akhirat
- Sakerah

8. Angkatan 1980 - 1990-an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan
sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Majalah Horison tidak ada lagi, karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas di berbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili Angkatan dekade 80-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Kurniawan Junaidi. Karya Sastra Angkatan Dasawarsa 80-an Antara lain adalah: -Badai Pasti Berlalu, - Cintaku di Kampus Biru, - Sajak Sikat Gigi, - Arjuna Mencari Cinta, - Manusia Kamar, dan – Karmila. Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita, karyanya bertolak belakang dengan novel-novel lainnya.
Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad 19 di mana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 80-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya. Namun, yang tidak boleh dilupakan, pada era 80-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop (tetapi tetap sah disebut sastra, jika sastra dianggap sebagai salah satu alat komunikasi), yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori
oleh Hilman dengan Serial Lupus-nya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih "berat".
Budaya Barat dan konflik-konfliknya sebagai tema utama cerita terus memengaruhi sastra Indonesia sampai tahun 2000.

9. Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke B.J. Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (GusDur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang Sastrawan Angkatan Reformasi. Munculnya angkatan ini
ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya
seputar Reformasi. Di rubrik sastra Harian Republika, misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra puisi, cerpen, dan novel pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda dan Acep Zamzam Noer, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.

10. Angkatan 2000-an
Setelah wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil dikukuhkan karena tidak memiliki 'juru bicara', Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan
2000.
Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000 yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 2002. Seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000, termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami, dan Dorothea Rosa Herliany.
•Abidah el Khalieqy
•Afrizal Malna
•Ahmad Nurullah
•Ahmad Syubanuddin Alwy
•Ahmadun Yosi Herfanda adalah salah seorang penyair yang dimasukkan oleh Korrie Layun Rampan ke dalam Angkatan
2000, tapi ia sebenarnya telah banyak menulis sajak sejak awal 1980-an.
•Ayu Utami dengan karyanya Saman, sebuah fragmen dari cerita Laila Tak Mampir di New York. Karya ini menandai awal
bangkitnya kembali sastra Indonesia setelah hampir 20 tahun. Gaya penulisan Ayu Utami yang terbuka, bahkan vulgar,
itulah yang membuatnya menonjol dari pengarang-pengarang yang lain. Novel lain yang ditulisnya adalah Larung, lanjutan dari cerita Saman.
•Dorothea Rosa Herliany
•Seno Gumira Ajidarma

Senin, 28 Februari 2011

Biografi Chairil Anwar

CHAIRIL ANWAR dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya berkahwin lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta. Semasa kecil di Medan, Chairil sangat rapat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil.


Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa membilang nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Rakannya, Jassin pun punya kenangan tentang ini. “Kami pernah bermain bulu tangkis bersama, dan dia kalah. Tapi dia tak mengakui kekalahannya, dan mengajak bertanding terus. Akhirnya saya kalah. Semua itu kerana kami bertanding di depan para gadis.”

Wanita adalah dunia Chairil sesudah buku. Tercatat nama Ida, Sri Ayati, Gadis Rasyid, Mirat, dan Roosmeini sebagai gadis yang dikejar-kejar Chairil. Dan semua nama gadis itu bahkan masuk ke dalam puisi-puisi Chairil. Namun, kepada gadis Karawang, Hapsah, Chairil telah menikahinya.

Pernikahan itu tak berumur panjang. Disebabkan kesulitan ekonomi, dan gaya hidup Chairil yang tak berubah, Hapsah meminta cerai. Saat anaknya berumur 7 bulan, Chairil pun menjadi duda.

Tak lama setelah itu, pukul 15.15 WIB, 28 April 1949, Chairil meninggal dunia. Ada beberapa versi tentang sakitnya. Tapi yang pasti, TBC kronis dan sipilis.

Umur Chairil memang pendek, 27 tahun. Tapi kependekan itu meninggalkan banyak hal bagi perkembangan kesusasteraan Indonesia. Malah dia menjadi contoh terbaik, untuk sikap yang tidak bersungguh-sungguh di dalam menggeluti kesenian. Sikap inilah yang membuat anaknya, Evawani Chairil Anwar, seorang notaris di Bekasi, harus meminta maaf, saat mengenang kematian ayahnya, di tahun 1999, “Saya minta maaf, karena kini saya hidup di suatu dunia yang bertentangan dengan dunia Chairil Anwar.”

Berikut ini adalah salah satu puisi karya chairil anwar yang terkenal berjudul "AKU"
AKU

Oleh :
Chairil Anwar

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu-sedan itu
Aku ini binatang jalan
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

iografi Chairil Anwar dari Google Biografi

Chairil Anwar dilahirkan di Medan, 26 Julai 1922. Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Kabupaten Indragiri Riau, berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota. Dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. Dia dibesarkan dalam keluarga yang cukup berantakan. Kedua ibu bapanya bercerai, dan ayahnya menikah lagi. Selepas perceraian itu, saat habis SMA, Chairil mengikut ibunya ke Jakarta.

Chairil masuk sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu masa penjajahan Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), sekolah menengah pertama Hindia Belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastra. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Semasa kecil di Medan, Chairil sangat dekat dengan neneknya. Keakraban ini begitu memberi kesan kepada hidup Chairil. Dalam hidupnya yang amat jarang berduka, salah satu kepedihan terhebat adalah saat neneknya meninggal dunia. Chairil melukiskan kedukaan itu dalam sajak yang luar biasa pedih:

Chairil Anwar
Patung Chairil Anwar di Jakarta
"Bukan kematian benar yang menusuk kalbu/ Keridlaanmu menerima segala tiba/ Tak kutahu setinggi itu atas debu/ Dan duka maha tuan bertahta"

Sesudah nenek, ibu adalah wanita kedua yang paling Chairil puja. Dia bahkan terbiasa menyebut nama ayahnya, Tulus, di depan sang Ibu, sebagai tanda menyebelahi nasib si ibu. Dan di depan ibunya, Chairil acapkali kehilangan sisinya yang liar. Beberapa puisi Chairil juga menunjukkan kecintaannya pada ibunya.

Sejak kecil, semangat Chairil terkenal kedegilannya. Seorang teman dekatnya Sjamsul Ridwan, pernah membuat suatu tulisan tentang kehidupan Chairil Anwar ketika semasa kecil. Menurut dia, salah satu sifat Chairil pada masa kanak-kanaknya ialah pantang dikalahkan, baik pantang kalah dalam suatu persaingan, maupun dalam mendapatkan keinginan hatinya. Keinginan dan hasrat untuk mendapatkan itulah yang menyebabkan jiwanya selalu meluap-luap, menyala-nyala, boleh dikatakan tidak pernah diam.

Masa dewasa

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisi-puisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan Jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun 1945.

Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

Chairil memang penyair besar yang menginspirasi dan mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan, termasuk perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain tercermin dari sajaknya bertajuk: "Krawang-Bekasi", yang disadurnya dari sajak "The Young Dead Soldiers", karya Archibald MacLeish (1948).

Dia juga menulis sajak "Persetujuan dengan Bung Karno", yang merefleksikan dukungannya pada Bung Karno untuk terus mempertahankan proklamasi 17 Agustus 1945.

Bahkan sajaknya yang berjudul "Aku" dan "Diponegoro" juga banyak diapresiasi orang sebagai sajak perjuangan. Kata Aku binatang jalang dalam sajak Aku, diapresiasi sebagai dorongan kata hati rakyat Indonesia untuk bebas merdeka.